Jauh sebelum bangsa Indonesia mendeklarasikan kemerdekaannya pada tanggal 17 Agustus 1945, bangsa Indonesia sudah mempunyai lembaga kepenghuluan yaitu semenjak berdirinya Kesultanan Mataram. Pada saat itu Kesultanan Mataram telah mengangkat seseorang yang diberi tugas dan wewenang khusus di bidang kepenghuluan. Pada masa Pemerintahan Kolonial Belanda, Lembaga Kepenghuluan sebagai lembaga swasta yang diatur dalam suatu Ordonansi, yaitu Huwelijk Ordonantie S. 1929 No. 348 jo S. 1931 No. 467, Vorstenlandsche Huwelijk Ordonantie S. 1933 No. 98 dan Huwelijs Ordonantie Buetengewesten S 1932 No. 482. Untuk Daerah Vorstenlanden dan seberang diatur dengan Ordonansi tersendiri. Lembaga tersebut dibawah pengawasan Bupati dan penghasilan karyawannya diperoleh dari hasil biaya nikah, talak dan rujuk yang dihimpun dalam kas masjid.
Kemudian pada masa Pemerintah Pendudukan
Jepang, tepatnya pada tahun 1943 Pemerintah Pendudukan Jepang di
Indonesia mendirikan Kantor Shumubu (KUA) di Jakarta. Pada waktu itu
yang ditunjuk sebagai Kepala Shumubu untuk wilayah Jawa dan Madura
adalah KH. Hasyim Asy’ari pendiri Pondok Pesantren Tebuireng Jombang dan
pendiri Jam’iyyah Nahdlatul Ulama. Sedangkan untuk pelaksanaan
tugasnya, KH. Hasyim Asy’ari menyerahkan kepada putranya K. Wahid Hasyim
sampai akhir pendudukan Jepang pada bulan Agustus 1945.
Sesudah merdeka, Menteri Agama H. M. Rasjidi
mengeluarkan Maklumat No. 2, tanggal 23 April 1946 yang isi maklumat
tersebut mendukung semua lembaga keagamaan dan ditempatkan kedalam
Kementrian Agama. Departemen Agama adalah departemen perjuangan.
Kelahirannya tidak dapat dipisahkan dengan dinamika perjuangan bangsa.
Pada saat bangsa ini berjuang mempertahankan kemerdekaan yang baru saja
diproklamirkan, maka lahirlah Kementrian Agama. Pembentukan Kementrian
Agama tersebut selain untuk menjalankan tugasnya sebagai penanggungjawab
realisasi Pembukaan UUD 1945 dan pelaksanaan pasal 29 UUD 1945, juga
sebagai pengukuhan dan peningkatan status Shumubu ( Kantor Urusan Agama
Tingkat Pusat ) pada masa penjajahan Jepang.
Berdirinya Departemen Agama Republik
Indonesia, tepatnya pada tanggal 3 Januari 1946. yang tertuang dalam
Penetapan Pemerintah No. 1/SD Tahun 1946 tentang Pembentukan Kementrian
Agama, dengan tujuan Pembangunan Nasional yang merupakan pengamalan sila
Ketuhanan Yang Maha Esa. Dengan demikian, agama dapat menjadi landasan
moral dan etika bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Dengan pemahaman
dan pengamalan agama secara benar diharapkan dapat mendukung
terwujudnya masyarakat Indonesia yang religius, mandiri, berkualitas
sehat jasmani rohani serta tercukupi kebutuhan material dan
spiritualnya.
Guna mewujudkan maksud tersebut, maka di
Daerah dibentuk suatu Kantor Agama. Untuk di Jawa Timur sejak tahun 1948
hingga 1951, dibentuk Kantor Agama Provinsi, Kantor Agama Daerah
(Tingkat Karesidenan) dan Kantor Kepenghuluan (Tingkat Kabupaten) yang
merupakan perpanjangan tangan dari Kementrian Agama Pusat bagian B,
yaitu : bidang Kepenghuluan, Kemasjidan, Wakaf dan Pengadilan Agama.
Dalam perkembangan selanjutnya dengan
terbitnya Keputusan Menteri Agama (KMA) Nomor 517 Tahun 2001 tentang
Penataan Organisasi Kantor Urusan Agama Kecamatan, maka Kantor Urusan
Agama (KUA) berkedudukan di wilayah Kecamatan dan bertanggung jawab
kepada Kepala Kantor Departemen Agama Kabupaten/Kota yang dikoordinasi
oleh Kepala Seksi Urusan Agama Islam/Bimas Islam/Bimas dan Kelembagaan
Agama Islam dan dipimpin oleh seorang Kepala, yang tugas pokoknya
melaksanakan sebagian tugas Kantor Departemen Agama Kabupaten/Kota di
bidang Urusan Agama Islam dalam wilayah Kecamatan. Dengan demikian,
eksistensi KUA Kecamatan sebagai institusi pemerintah dapat diakui
keberadaannya, karena memiliki landasan hukum yang kuat dan merupakan
bagian dari struktur pemerintahan di tingkat Kecamatan.
Assalamualaikum pak mau nanya kalo asal terbentuknya p3n dalam lingkup KUA itu seperti apa?
BalasHapus